Disusun Oleh:
M. Irvan Yusuf
Rizal Arif Budiman
Khomsyah Nurhayati
MADRASAH ALIYAH
NEGERI KOTA
TEGAL
Jalan Pendidikan Pesurungan
Lor-Margadana Telp. (0283) 325056
LEMBAR PENGESAHAN
Setelah
meneliti dan mengadakan perbaikan-perbaikan maka karya tulis ini dapat disahkan
dan diterima guna mengikuti lomba karya tulis ilmiah remaja.
Disahkan pada
Hari :
Jum’at
Tanggal : 16
September 2011
Kepala MAN Kota Tegal Waka
Kesiswaan
Drs. H. Kamaluddin, M.M. Ihda Syifai, S.Pd. NIP. 196512021985031003 NIP. 19740121
20013 1002
DAFTAR ISI
Halaman Judul ………………………………………………………………i
Halaman Pengesahan ………………………………………………………..ii
Daftar Isi ……………………………………………………………………..iii
Kata Pengantar .....................................................................................iv
Bab I Pendahuluan .................................................................................1
1.1
Latar Belakang ........................................................................1
1.2
RumusanMasalah .......................................................................2
1.3
Tujuan Penulisan .......................................................................2
1.4
Manfaat Penulisan ......................................................................2
1.5
Metode Penelitian ......................................................................2
Bab II Kajian Pustaka ................................................................................3
2.1
Permasalahan
yang mengenai radikalisme Islam ...............................3
2.2
Stigma Radikalisme
Islam ........................................................7
Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan .................................................11
Bab IV Penutup .................................................................................17
a.
Simpulan ..............................................................................17
b.
Saran ..................................................................................17
Daftar Pustaka ....................................................................................19
Lampiran .........................................................................................20
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah
SWT, Tuhan pemilik semesta alam dan sumber segala pengetahuan karena atas
bimbingan-Nya penyusun dapat menyelesaikan karya tulis yang berjudul “Sikap
Siswa Terhadap Gerakan Radikal Berbasis Agama“. Adapun penyusunan karya tulis
ini dimaksudkan untuk mengembangkan pola pemikiran baru guna mengetahui
persoalan kekerasan dan terorisme yang menjadi perbincangan sekaligus
permasalahan politik di negara ini. Pemahaman yang keliru terhadap persoalan
ini bisa membahayakan orang yang bersangkutan maupun orang lain.
Kami sangat menyadari karya
tulis ini masih jauh dari kesempuranaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun kami sangat
harapkan untuk kesempurnaan dari kekurangan-kekurangan yang ada, sehingga karya
tulis ini dapat bermanfaat. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah banyak membantu kami dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini,
terkhusus kepada :
1.
Drs. H. Kamaluddin, MM selaku kepala MAN Kota
Tegal.
2.
Ihda Syifa’i, S.Pd selaku waka kesiswaan MAN Kota Tegal
3.
Eka Ertiningsih, S. Pd & Retnowati S.Pd selaku pembimbing.
4.
Kedua Orang Tua yang sangat kami cintai beserta
saudara-saudara kami yang tersayang yang
telah memberi dukungan dan bantuan.
5.
Teman-teman kami yang telah memberikan support kepada kami.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan balasan yang setimpal atas bantuan
dan pengorbanan mereka kepada kami dan melimpahkan rahmat dan karunia–Nya
kepada kita semua. Amin ya Rabbal Alamin.
Tegal, 10 September 2011
Tim Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kata-kata ”Islam Radikal” akhir-akhir
ini sudah tak asing lagi di telinga kita. Setiap ada peledakan bom maka
sebagian masyarakat akan berpikir bahwa itu adalah ulah orang-orang yang
menganut paham radikal dalam pergerakannya. Bahkan, terkadang label radikal itu
bersandingan dengan kata Islam, sehingga mereka dengan mudah dan tanpa memahami
terlebih dahulu memvonis Islam itu radikal. Sungguh pemahaman yang sangat
keliru karena perbuatan segelintir orang mereka langsung memvonis agama Islam
yang sebenarnya ”rahmatan lil alamin” tetapi dinilai sebaliknya.
Kenyataannya bukan hanya label radikal saja
yang berkembang di masyarakat. Ketika penganut agama Islam berkiblat pada paham
barat maka masyarakat pun akan memberi label liberal. Penambahan kata-kata
tertentu setelah kata Islam seperti radikal, liberal, revival tentu berdampak
pada penilaian masyarakat terhadap ajaran agama Islam terutama penilaian dari
orang-orang yang kurang memahami Islam
secara mumpuni contohnya pemahaman siswa terhadap agama Islam. Pemahaman yang tidak tuntas ini akan
menggiring pada penilaian meraka yang terkesan asal tahu saja.
Sudah saatnya siswa memahami apa itu Islam
dan mengapa banyak label-label tertentu bersandingan dengan kata Islam yang
sebenarnya tidak diajarkan pada zaman nabi. Islam adalah ajaran yang penuh
rahmat bagi semesta alam dan bukan agama teroris seperti yang dilansir
media-media barat. Penilaian yang salah karena berasal dari pemahaman yang
salah. Apalagi ketika kita hidup di era arus informasi global yang terkadang
berita tentang Islam kurang proporsional dan kurang berimbang.
Berawal dari latar belakang tersebut di
atas, penyusun ingin menggali sejauh mana pandangan dan sikap siswa terhadap
”Islam Radikal”. Bagi penyusun sudah saatnya siswa harus memahami Islam secara
kaffah dan tidak memahami Islam sebatas pemberitaan-pemberitaan yang
menyudutkan ajaran Islam. Di pundak-pindak siswa inilah Islam diharapkan akan
berkembang sebagaimana mestinya karena Islam adalah agama yang penuh rahmat
bagi seluruh alam.
Islam radikal inilah yang bisa
kita katakan sebagai gerakan Islam radikal atau radikalisme berbasis agama,
dimana hal tersebut akan kami bahas
lebih jauh dalam karya ilmiah ini.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang,
peristiwa tersebut mendorong kami untuk mencoba mengkaji terhadap gerakan
radikal yang berbasis agama, sehingga muncul permasalahan yaitu:
1.
Bagaimana pandangan siswa terhadap gerakan Islam
radikal?
2.
Bagaimana cara untuk mengatasi problematika
pemikiran radikal dengan hal-hal yang berkaitanan kekerasan?
1.3
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk ikut berpartisipasi
dalam pemecahan masalah radikalisme agama yang saat ini sudah mulai menyebar dan mempengaruhi semua
kalangan, terutama generasi muda muslim.
1.4
Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diambil dari penulisan karya ilmiah ini secara umum
adalah untuk
mengetahui bagaimana cara memecahkan masalah radikalisme agama dan solusi apa saja
yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah tersebut. Sedangkan manfaat yang
dapat diambil secara khusus bagi penulis yaitu melatih diri untuk ikut bersikap
dalam memecahkan suatu problematika agama serta sebagai sarana melatih berkarya
ilmiah.
1.5 Metode Penelitian
a.
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah kelas jurusan Agama MAN Kota Tegal Tahun ajaran
2011/2012.
b.
Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah kelas XII Agama MAN Kota Tegal Tahun ajaran
2011/2012.
- Metode
Metode
penelitian yang kami gunakan dalam penyusunan karya ilmiah ini adalah :
1.
Riset Pustaka (Library Research),
yaitu metode yang mempelajari dan menelaah literatur yang berhubungan dengan masalah.
2.
Pengumpulan data dengan menggunakan angket atau kuesioner, yaitu
sebuah cara atau teknik yang digunakan penyusun untuk mengumpulkan data dengan
menyebarkan angket yang berisi pernyataan-pernyataan yang dijawab oleh para responden. Dari jawaban
responden tersebut, penyusun dapat memperoleh data seperti pendapat dan sikap
responden terhadap masalah yang sedang diteliti.
c. Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada tanggal 10
Agustus 2011 sampai tanggal 20 Agustus 2011. Adapun tempat pelaksanaan
penelitian ini adalah di MAN Kota Tegal.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Permasalahan Mengenai Radikalisme Islam
Munculnya
isu-isu politis mengenai radikalisme Islam merupakan tantangan
baru bagi umat Islam untuk menjawabnya. Isu radikalisme Islam ini
sebenarnya sudah lama mencuat di permukaan wacana internasional. Radikalisme
Islam sebagai fenomena historis-sosiologis merupakan masalah yang banyak
dibicarakan dalam wacana politik dan peradaban global akibat kekuatan media
yang memiliki potensi besar dalam menciptakan persepsi masyarakat dunia. (Madjid,
Pintu-Pintu Menuju Tuhan,1995: 270)
Banyak label-label yang diberikan
oleh kalangan Eropa Barat dan Amerika Serikat untuk menyebut gerakan Islam
radikal, dari sebutan kelompok garis keras, ekstrimis, militan, Islam kanan,
fundamentalisme sampai terorisme. Bahkan di negara-negara Barat pasca hancurnya
ideologi komunisme (pasca perang dingin) memandang Islam sebagai sebuah gerakan
dari peradaban yang menakutkan. (Nasution, Islam
Rasional, 1995:124)
Salah satu label yang melekat pada kata
Islam yakni
liberal. Islam liberal adalah nama sebuah gerakan dan aliran pemikiran
yang bermula dari sebuah ajang kongkow-kongkow
di jalan Utan Kayu 69 H, Jakarta Timur. Tempat ini
sejak 1996 sebagai tempat pertemuan para seniman sastra, teater, musik, film,
dan seni rupa. Di tempat itu pula Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang
salah satu motor utamanya adalah Ulil Abshar Abdalla berkantor. Bersama
Goenawan Mohammad (mantan pemimpin redaksi Tempo)
serta sejumlah pemikir muda seperti Ahmad Sahal, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib
dan Saiful Mujani, Ulil kerap menggelar diskusi bertema ’pembaruan’ pemikiran
Islam.
Setelah berdiskusi sekian
lama pada akhir 1999 Ulil dan kawan-kawan sepakat untuk memperkenalkan serta
mengkampanyekan pemikiran mereka dengan bendera Islam Liberal. Lalu untuk
mengintensifkan kampanye mereka membentuk wadah Jaringan Islam Liberal (JIL)
pada maret 2001. Dengan ditunjang kucuran dana dari Asia Fondation kampanye Islam liberal gencar dilancarkan melalui
berbagai cara. Mulai dari forum kajian dan diskusi, media cetak hingga media
elektronik. Media internet juga tak ketinggalan mereka garap. Mula-mula dengan
membuat forum diskusi internet (mailing
list) kemudian dilanjut dengan membuat situs web, www.islamlib.com.
Kampanye lewat media cetak dilakukan sangat
gencar. Selain melalui majalah seperti Tempo
dan Gatra, JIL mendapat porsi
publikasi besar di koran Jawa Pos-Net.
Dengan nama rubrik kajian Utan Kayu, setiap hari Ahad JIL mendapat jatah satu
halaman penuh dengan diisi tulisan para pengusung ide Islam liberal, antara
lain Nucholis Madjid, Azyumardi Azra, Jalaluddin Rakhmat dan Masdar F Mas’udi. Kampanye melalui media
elektronik mula-mula cuma disuarakan melalui kantor berita radio 68 H yang mengudarakan dialog interaktif setiap
Kamis sore. Belakangan siaran itu kemudian di-relay oleh tak kurang 15 menit stasiun radio se-Indonesia yang
tergabung dalam jaringan 68 H, sehingga dapat disimak oleh para pendengar dari Aceh hingga Manado. Di
Jakarta siaran langsung JIL di-relay
oleh stasiun radio dangdut Muara FM.
Adapun istilah Islam liberal dipilih oleh kalangan JIL untuk menamakan gerakan
dan pemikran mereka mendapat inspirasi dari buku
Liberal Islam: A Sourcebook karya Charles Kurzman (edisi bahasa Indonesia
berjudul Wacana Islam Liberal: Pemikiran
Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, diterbitkan oleh Paramadina),
sebab dari buku itu pula JIL meminjam enam agenda Charles Kurzman. Enam isu
itu: antiteokrasi, demokrasi, hak-hak
perempuan, hak-hak non-Muslim, kebebasan berpikir dan gagasan tentang kemajuan.
Sebenarnya Islam liberal
bukanlah suatu pemikiran baru. Di Indonesia pemikiran Islam liberal telah
dirintis oleh antara lain Harun Nasution, Nucholis Madjid, Munawir Sjadzali dan
Abdurrahman Wahid. Mereka adalah orag-orang yang sejak tahun 1970-an dan
1980-an menggelindingkan ide ’pembaruan Islam’, berupa Islam rasional, deskonstruksi syariah sekulerisasi. Namun, kata Ulil Abshar
kepada Gatra, para perintis itu gagal
memasyarakatkan gagasan Islam liberal ke masyarakat. Kegagalan itu antara lain
karena tidak adanya pengorganisasian secara sistematis. Luthfi Asyaukanie
berkata, gerakan Islam liberal sebelum ini terlalu elitis. Gagasan itu lebih
banyak dibawa kalangan akademis dan peneliti yang tak mengakar ke masyarakat,
sehingga opini publik tetap dikuasai oleh kalangan Islam ’konservatif’ yang
memiliki jaringan kuat dan mengakar ke masyarakat.
Islam liberal dan Islam
revivalis adalah hal yang berbeda. Charles Kurzman mendefiniskan, Islam
revivalis berusaha mengembalikan kemurnian Islam di zaman Rasulullah SAW,
tetapi tidak ramah dengan kehadiran modernitas. Sedangkan Islam liberal, yaitu
menghadirkan masa lalu Islam untuk kepentingan modernitas. Sebuah
pengkategorian yang sangat kadang diperdebatkan. Tapi lepas dari perdebatan itu, menurut kalangan JIL, dalam
konteks Indonesia, kaum revivalis adalah mereka yang mendukung sekularisme dan
menentang penegakkan syari’at Islam oleh negara. Pemikiran revivalis,
katakanlah begitu tercemin dalam FPI (Front Pembela Islam), atau Laskar Jihad
yang lebih kuat, atau jaringan PK (Partai Keadilan) yang lebih mengakar. (Ulil
Abshar)
Untuk mengimbangi kalangan revivalis, kini JIL telah menyusun
sejumlah agenda, antara lain: kampanye sekulerisasi seraya menolak konsep Islam
kaffah (total atau sempurna) dan
menolak penegakkan syari’at Islam, menjauhkan konsep jihad dari makna perang,
penerbitan Al-Qur’an edisi kritis, mengkampanyekan feminisme dan keseteraan gender serta pluralisme.
Sebagaimana perkataan Ulil Abshar dalam rubrik kajian Utan Kayu Jawa Pos, “Beragama secara kaffah itu tidak sehat dilihat dari berbagai segi. Agama yang ’kaffah’ hanya tepat untuk masyarakat
sederhana yang belum mengalamai ’sofistikasi’ kehidupan seperti zaman modern.
Beragama yang sehat adalah beragama yang tidak kaffah”.
Tidak ada gejolak politik yang lebih ditakuti
melebihi bangkitnya gerakan Islam yang
diberinya label sebagai radikalisme Islam. Tuduhan-tudujan dan propaganda barat
atas Islam sebagai agama yang menopang gerakan radikalisme telah menjadi
retorika internasional. Label radikalisme bagi gerakan Islam yang menentang
barat dan sekutu-sekutunya dengan sengaja dijadikan komoditi politik.
Gerakan perlawanan rakyat Palestina, Revolusi
Islam Iran, Partai FIS Al-Jazair, perilaku anti-AS yang dipertunjukkan Mu’ammar
Ghadafi ataupun Saddam Hussein, gerakan
Islam di Mindanao Selatan, gerakan masyarakat Muslim Sudan yang anti-AS, merebaknya
solidaritas Muslim Indonesia terhadap saudara-saudara yang tertindas dan
sebagainya, adalah fenomena yang dijadikan media barat dalam mengkapanyekan
label radikalisme Islam.
Dalam perspektif barat, gerakan Islam sudah
menjadi fenomena yang perlu dicurigai. Terlebih-lebih pasca hancurnya gedung
WTC New York yang dituduhkan dilakukan oleh kelompok Islam garis keras
(Al-Qaeda dan Taliban) semakin menjadikan tema radikalisme Islam menjadi wacana
yang lebih mengglobal yang berimplikasi pada sikap kecurigaan masyarakat dunia,
terutama bangsa barat dan Amerika Serikat terhadap gerakan Islam.
Hal yang demikian terjadi karena orang-orang
Eropa barat dan Amerika Serikat berhasil dalam melibatkan dan mewarnai media
sehingga mampu membentuk opini publik. Praktek-praktek kekerasan yang dilakukan
sekelompok Islam dengan membawa simbol-simbol agama telah dimanfaatkan oleh
orang-orang barat dengan memanfaatkan media massa sebagai alat utama dalam
memegang tampuk wacana peradaban, sehingga Islam terus menerus dipojokkan oleh
publik. Barangkali masyarakat barat telah tertipu oleh muslihat peradabannya
sendiri dalam mengeksploitasi media yang diciptakannya.
Ketergesa-gesaan dalam generalisasi menyebabkan
mereka tidak mampu memandang fenomena historis umat Islam secara obyektif.
Tetapi hal ini tidak berarti pembenaran terhadap praktek radikalisme yang
dilakukan umat beragama karena yang demikian bertentangan dengan pesan-pesan
moral yang terkandung dalam agama dan moralitas manapun. Akan tetapi apa yang
perlu dilihat adalah bahwa Islam sebagai agama sangat menjunjung tinggi
perdamaian.
Hal ini bukan saja ada dalam normatifitas teks
wahyu dan sunnah tetapi termanifestasi dalam sejarah Islam awal. Islam secara
normatif dan historis (era Nabi) sama sekali tidak pernah mengajarkan praktek
radikalisme sebagaimana terminologi di barat. Islam tidak memiliki keterkaitan
dengan gerakan radikal, bahkan tidak ada pesan moral Islam yang menunjuk kepada
ajaran radikalisme baik dari sisi normatif maupun historis kenabian.
2.2 Stigma Radikalisme Islam
Menurut
Madjid dalam, Islam Agama Peradaban,
Mencari Makna Dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah (1995:260) stigma
radikalisme Islam adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan
kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka. Sementara Islam merupakan agama
kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai dan mencari perdamaian. Islam tidak
pernah membenarkan praktek penggunaan kekerasan dalam menyebarkan agama, paham
keagamaan serta paham politik.
Tetapi memang tidak bisa dibantah
bahwa dalam perjalanan sejarahnya terdapat kelompok-kelompok Islam tertentu
yang menggunakan jalan kekerasan untuk mencapai tujuan politis atau
mempertahankan paham keagamaannya secara kaku yang dalam bahasa peradaban
global sering disebut kaum radikalisme Islam. Kuntowijoyo mengatakan dalam Identitas politik Umat Islam (1997:49)
istilah radikalisme untuk menyebut kelompok garis keras dipandang lebih tepat
ketimbang fundamentalisme karena fundamentalisme sendiri memimiliki makna
yang interpretable. Dalam tradisi
pemikiran teologi keagamaan, fundamentalisme merupakan gerakan untuk
mengembalikan seluruh perilaku dalam tatanan kehidupan umat Islam kepada
Al-Qur’ an dan Al-Hadits. (H.A.R. Gibb,
Aliran-Aliran Moderen Dalam Islam, Terjemahan Machnun Husein, 1990:52).
Sebutan fundamentalis memang
terkadang bermaksud untuk menunjuk kelompok pengembali (revivalis) Islam.
Tetapi terkadang istilah fundamentalis juga ditujukan untuk menyebut gerakan radikalisme Islam. Dengan
demikian penulis lebih cenderung menggunakan istilah radikalisme dari pada
fundamentalisme karena pengertian fundamentalisme dapat memiliki arti-arti lain
yang terkadang mengkaburkan makna yang
dimaksudkan sedang radikalisme dipandang lebih jelas makna yang ditunjuknya
yaitu gerakan yang menggunakan kekerasan untuk mencapai target politik yang
ditopang oleh sentimen atau emosi keagamaan. Sebutan untuk memberikan
label bagi gerakan radikalisme untuk kelompok Islam garis keras juga
bermacam-macam seperti ekstrim kanan, fundamentalis, militant, dan sebagainya.
M.A. Shaban menyebut aliran keras (radikalisme) dengan sebutan neo-khawarij. (M.A. Shaban, Islamic History, 1994:56).
Sedangkan Nasution dalam Islam Rasional (1995:125) menyebutnya
dengan sebutan khawarij abad ke dua puluh (abad 20-pen) karena memang jalan
yang ditempuh untuk mencapai tujuan adalah dengan menggunakan kekerasan
sebagaimana dilakukan khawarij pada masa pasca Tahkim.
Islam sebagai agama damai sesungguhnya tidak
membenarkan adanya praktek kekerasan. Cara-cara radikal untuk mencapai tujuan
politis atau mempertahankan apa yang dianggap sakral bukanlah cara- cara yang
Islami. Di dalam tradisi peradaban Islam sendiri juga tidak dikenal adanya
label radikalisme. Istilah radikalisme Islam berasal dari pers barat untuk
menunjuk gerakan Islam garis keras (ekstrim, fundamentalis, militan).
(Azra, Pergolakan politik Islam, Dari Fundamentalis, Modernisme Hingga
Post-Modernisme, 1996:18)
Istilah fundamentalisme dan radikalisme dalam
perspektif barat sering dikaitkan dengan sikap ekstrim, kolot, stagnasi,
konservatif, antibarat, dan keras dalam mempertahankan pendapat bahkan dengan kekerasan fisik.
Penggunaan istilah radikalisme atau fundamentalisme bagi umat Islam sebenarnya
tidak tepat karena gerakan radikalisme itu tidak terjadi di setiap negeri
Muslim dan tidak dapat ditimpakan kepada Islam. Radikalisme merupakan gerakan
yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang dirugikan oleh fenomena
sosio-politik dan sosio-historis.
Gejala praktek kekerasan yang dilakukan oleh
sekelompok umat Islam itu, secara historis-sosiologis, lebih tepat sebagai
gejala sosial-politik ketimbang gejala keagamaan meskipun dengan mengibarkan
panji-panji keagamaan.
Fenomena radikalisme yang dilakukan oleh sebagian
kalangan umat Islam, oleh pers barat dibesar-besarkan, sehingga menjadi wacana
internasional dan terciptalah opini publik bahwa Islam itu mengerikan dan penuh
dengan kekerasan. Akibatnya tidak jarang kesan-kesan negatif banyak dialamatkan
kepada Islam sehingga umat Islam terpojokkan sebagai umat yang perlu dicurigai. Hal yang demikian terjadi
karena masyarakat barat mampu menguasai pers yang dijadikan instrumen yang kuat
guna memproyeksikan kultur dominan dari peradaban global. Apa yang ditangkap
masyarakat dunia adalah apa yang didefinisikan dalam media-media barat.
Hal yang demikian terjadi karena masyarakat barat
mampu menguasai pers yang dijadikan instrumen yang kuat guna memproyeksikan
kultur dominan dari peradaban global. Apa yang ditangkap masyarakat dunia
adalah apa yang didefinisikan dalam media-media Barat.
Label Islam untuk menyebut gerakan fundamentalis
sangat menyenangkan bagi pers barat ketimbang label Tamil di Srilangka, militan
Hindu di India, IRA (kelompok bersenjata Irlandia Utara), militan Yahudi sayap
kanan, sekte kebatinan di Jepang ataupun bahkan musuh lamanya, komunis-marxis
yang tidak jarang menggunakan jalan kekerasan sebagai solusi penyelesaian
masalah. Karena terlalu mengkaitkan kata-kata radikalisme, fundamentalis atau
gerakan militan dengan Islam maka
seringkali media barat mengabaikan perkembangan praktek kekerasan yang ditopang
keyakinan keagamaan yang dilakukan oleh kalangan non-Islam ataupun yang
ditopang oleh ideologi “kiri”.
Contoh yang sangat jelas adalah aksi tutup mulut
para elit politik barat atau aksi bicara dalam kepura-puraan ketika malihat
praktek kekerasan yang dilakukan oleh ekstrimis Yahudi ataupun Israel atas orang-orang Arab Palestina. Apa
yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pelaku kekerasan ini secara faktual sama
dengan apa yang dilakukan oleh kelompok pelaku garis keras “radikalisme Islam”.
Tetapi sebutan radikalisme lebih kental ditujukan kepada gerakan Islam.
Hal inilah yang ditolak oleh gerakan
negara-negara OKI dalam pertemuannya di Kuala Lumpur Malaysia tanggal 1–3 April
2002. Realitas historis-sosiologis ini adalah bukti betapa Barat menggunakan
standar berganda dan bersikap tidak adil
terhadap Islam. Ketika masjid dan Mullah dilihat sebagai timbul radikalisme
atau ketika gejala-gejala kultural Muslim diproyeksikan sebagai bentuk fanatisme
dan ekstrimisme maka terjadilah pengekangan dan pemenjaraan peradaban Islam. Masyarakat barat telah memberikan klaim peradaban atas
Islam sementara proses peradaban Islam sedang membentuk jati dirinya. (SOLOPOS, 2 April 2002:4).
Hal tersebut tidak berarti pembenaran perilaku radikalisme yang dilakukan umat
Islam karena apapun alasannya praktek kekerasan merupakan pelanggaran norma
keagamaan sekaligus pelecehan kemanusiaan. Dengan demikian maka jelas bahwa
label radikalisme yang dialamatkan oleh Barat kepada Islam merupakan pelecahan
agama karena di dalam Islam tidak ada perintah menuju kekerasan. Istilah salah
kaprah itu sesungguhnya tidak perlu terjadi jika Barat mau mengkaji Islam normatif terkadang tidak diimplementasikan oleh sekelompok muslim
dalam konteks historis-sosiologis.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian
dilakukan dengan menggunakan model kajian riset pustaka. Sedangkan untuk
menggali sikap siswa digunakan model angket seperti di bawah ini. Angket
tersebut diisi oleh siswa kelas XII Agama yang berjumlah 19 siswa. Penyusun
memilih sampel penelitian kelas XII Agama dengan pertimbangan karena di kelas
tersebut lebih banyak mendapat pelajaran muatan agama dibandingkan kelas
reguler IPA dan IPS. Adapun bentuk
angket atau kuesioner yang digunakan adalah sebagai berikut :
No.
|
Pernyataan
|
Ya
|
Tidak
tahu
|
Ragu
|
1.
|
Radikal adalah
gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam
mengajarkan keyakinan.
|
|||
2
|
Islam adalah agama
kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai, dan mencari perdamaian.
|
|||
3
|
Gerakan radikalisme
lebih banyak merekrut generasi muda sebagai korban ajaran para pemikir
radikal.
|
|||
4.
|
Berkembangnya radikal
di Indonesia disebabkan oleh lemahnya penegakkan hukum, pemahaman ideologi
pancasila.
|
|||
5.
|
Agama Islam itu
membenarkan adanya gerakan radikalisme?
|
Dari hasil angket tersebut diperoleh data sebagai
berikut :
No
|
Pernyataan
|
Jumlah siswa Menjawab
|
||
Ya
|
Tidak tahu
|
Ragu
|
||
1
|
Radikal adalah
gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam
mengajarkan keyakinan.
|
6
|
12
|
1
|
2
|
Islam adalah agama
kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai, dan mencari perdamaian.
|
19
|
-
|
-
|
3
|
Gerakan radikalisme
lebih banyak merekrut generasi muda sebagai korban ajaran para pemikir
radikal.
|
16
|
1
|
2
|
4
|
Berkembangnya radikal
di Indonesia disebabkan oleh lemahnya penegakkan hukum, pemahaman ideologi
pancasila.
|
15
|
2
|
2
|
5
|
Agama Islam itu
membenarkan adanya gerakan radikalisme?
|
-
|
-
|
19
|
Berdasarkan tabel hasil tersebut, semua siswa di kelas XII Agama
memiliki pandangan dan sikap yang sama yakni 19 siswa yakin bahwa Islam merupakan agama yang mengajarkan sikap
berdamai dan mencari perdamaian. Tentu hal ini menggembirakan ketika mereka
sudah berkeyakinan bahwa Islam adalah haq. Dari keyakinan ini diharapkan siswa
dapat mengamalkan ajaran agama Islam secara baik dan benar (kaffah) dan
tidak terjerumus pada ajaran-ajaran yang hendak menyesatkan Islam seperti
ajaran-ajaran Islam radikal. Mereka juga meyakini bahwa gerakan radikal lebih
banyak merekrut generasi muda sebagai korban ajaran radikal. Penilaian mereka
tercermin dari sejumlah 16 siswa menjawab ya. Harapan penyusun ini dapat menjadi kewaspadaan kita bahwa pelaku radikal bukan hanya dari kalangan
orang-orang dewasa. Justru kita sebagai generasi muda lebih banyak menjadi
objek sasaran kaum radikal dalam menanamkan paham ajarannya.
Akan tetapi, keyakinan mereka tidak diimbangi dengan pengetahuan dan
pemahaman tentang Islam. Hal ini terlihat ketika siswa menjawab angket pada pernyataan
nomor 1, 4, dan nomor 5. Pada point pernyataan tersebut siswa lebih banyak
menjawab ragu-ragu. Hal ini menandakan bahwa pengetahuan mereka belum
sepenuhnya maksimal terhadap ajaran agama Islam. Hal ini mengkhawatirkan karena
pemahaman yang setengah-setengah dapat menggiring mereka pa da sikap
mereka terhadap Islam. (Lihat Lampiran hal : 22-23)
Dari hasil penelitian secara umum dapat dikatakan bahwa siswa-siswa
masih memerlukan bimbingan dalam mempelajari Islam yang baik dan benar. Hal ini
dimaksudkan agar ketika mereka berada di masyarakat yang majemuk, keyakinan
mereka terhadap Islam tidak dipengaruhi oang-orang yang hendak merusak citra
Islam. Siswa Islam adalah generasi penerus agama Islam yang diharapkan dapat
membawa panji-panji kebenaran Islam dan bukan menjadi objek sasaran untuk
dibidik menjadi kaum radikal yang memerangi agamanya sendiri. Dengan pemahaman
agama yang benar dengan sendirinya dapat menyaring ajaran-ajaran mana yang
sesuai dengan syariat dan mana yang menyimpag dari syariat. Menurut pandangan
penulis kekurangpahaman mereka disebabkan faktor-faktor berikut:
- Siswa
lebih menerima budaya barat sehingga pemikiran-pemikiran cenderung
dipengaruhi budaya barat.
- Siswa
lebih memilih mempelajari hal-hal yang sifatnya modern, padahal
mempelajari ajaran Islam adalah pondasi dalam menapaki kehidupan.
- Maraknya
budaya instan seperti memahami sesuatu dari berita-berita saja tanpa
diikuti dengan membaca literatur yang sesuai. Misal, mereka tahu
label-label yang melekat pada Islam dari pemberitaan. Pada kenyataannya
terkadang pemberitaan tersebut lebih condong menyudutkan Islam apalagi
pemberitaan media-media barat.
Sedangkan hasil penelitian secara riset pustaka
diperoleh pemahaman bahwa
gerakan-gerakan radikalisme yang dilakukan oleh sebagian kelompok umat
Islam sesungguhnya mencerminkan paduan beberapa faktor. Oleh karenanya perlu
dicari akar permasalahan dari faktor-faktor tersebut. Beberapa faktor tersebut
antara lain :
Pertama, faktor internal yaitu berupa emosi
keagamaan yang berdasarkan interpretasi ajaran agama. Dalam hal ini, jika
gerakan radikalisme berbasis pada interpretasi ajaran agama maka jalan yang
perlu ditempuh untuk meminimalisir gerakan radikalisme agama (khususnya Islam)
harus mulai dengan rekontruksi terhadap pemahaman agama, dari yang bersifar
simbolik-normatif menuju pemahaman yang etik, substansial dan universal. Namun
hal ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan karena memerlukan upaya yang
menyeluruh dan kompleks. Mengubah pola pikir dan sikap mental adalah perbuatan
yang amat sulit dilakukan terlebih-lebih
jika pola pikir sebelumnya sudah ditopang dengan akidah (keyakinan) keagamaan
yang kuat dan mengakar.
Kedua, faktor emosi keagamaan. Harus diakui bahwa
salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan,
termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas
oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor
emosi keagamaannya, dan bukan agama (wahyu suci yang absolut) walalupun gerakan
radikalisme selalu mengibarkan bendera dan symbol agama seperti dalih membela
agama, jihad dan mati stahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi
keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif.
Jadi sifatnya nisbi dan subjektif.
Ketiga, faktor kultural ini juga
memiliki andil yang cukup besar yang melatarbelakangi munculnya radikalisme.
Hal ini wajar karena memang secara kultural, sebagaimana diungkapkan Asy’ari
dalam Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam
Al-Qur’an (1992:95) bahwa di dalam
masyarakat selalu diketemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan
jaring-jaring kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang
dimaksud faktor kultural di sini adalah sebagai anti tesa terhadap budaya
sekularisme.
Budaya barat merupakan sumber sekularisme yang
dianggap sebagai musuh yang harus dihilangkan dari bumi. Sedangkan fakta
sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas
negeri-negeri dan budaya Muslim. Peradaban barat sekarang ini merupakan
ekspresi dominan dan universal umat manusia.
Barat telah dengan sengaja melakukan proses
marjinalisasi seluruh sendi-sendi kehidupan Muslim sehingga umat Islam menjadi
terbelakang dan tertindas. Barat, dengan sekularismenya, sudah dianggap sebagai
bangsa yang mengotori budaya-budaya bangsa Timur dan Islam, juga dianggap
bahaya terbesar dari keberlangsungan moralitas Islam.
Keempat, faktor ideologis anti westernisme.
Westernisme merupakan suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam
mengaplikasikan syari’at Islam. Sehingga simbol-simbol barat harus dihancurkan
demi penegakan syari’at Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti barat tidak
bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang
ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam
memposisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban.
Kelima, faktor kebijakan pemerintah.
Ketidakmampuan pemerintah di negara-negara Islam untuk bertindak memperbaiki
situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam
disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-negara besar.
Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negeri-negeri Muslim belum atau kurang
dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme)
sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat.
Keenam, faktor pendidikan dan
kemiskinan. Faktor ini sangat berpengaruh disamping faktor-faktor lainnya.
Karena jika masyarakat kurang pendidikan sudah tentu mudah di pengaruhi oleh
penggerak gerakan radikal. Di samping itu, kemiskinan juga sangat berpengaruh
dalam menyebarnya gerakan radikal. Dengan menjajikan harta untuk mencukupi
kebutuhannya, maka mudah bagi para penggerak untuk menjaring masyarakat,
khususnya masyarakat Muslim.
Di samping itu, faktor media massa (pers) barat
yang selalu memojokkan umat Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi dengan
kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam. Propaganda-propaganda lewat pers
memang memiliki kekuatan dahsyat dan sangat sulit untuk ditangkis sehingga
sebagian “ekstrim” yaitu perilaku radikal sebagai reaksi atas apa yang
ditimpakan kepada komunitas Muslim.
BAB IV
PENUTUP
a.
Simpulan
Islam dan radikalisme adalah dua hal yang terpisah. Islam
tidak memiliki keterkaitan dengan gerakan radikal, bahkan tidak ada pesan moral
Islam yang menunjukan kepada ajaran radikalisme. Gerakan yang seperti ini tidak
dibenarkan dalam syari’at Islam. Karena,
Islam itu sendiri menyerukan perintah amar ma’ruf nahi munkar bukan dengan
kekerasan. Amar ma’ruf nahi munkar itu harus dengan hikmah, santun, bertutur
kata yang baik dan bukan
dengan kekerasan. Pada saat ini, gerakan radikalisme sudah banyak menyebar dan
kelompok gerakan ini mempengaruhi serta berusaha menjaring semua kalangan untuk
ikut dalam kelompoknya, namun lebih membidik para generasi muda yang
diantaranya anak-anak SMA/ SMK/ MA/ dan Mahasiswa serta orang-orang yang awam
mengenal gerakan radikal.
b.
Saran
Memberikan solusi
permasalahan ini sungguhlah tidak mudah. Namun, sebenarnya radikalisme bernuansa agama dapat diatasi
secara komprehensif tanpa harus
mengorbankan demokrasi maupun kepentingan umat beragama. Gerakan radikalisme
bernuansa agama yang berujung tindak terorisme ini tidak bisa dihentikan dengan
peluru, akan tetapi harus diatasi faktor pemicunya .
Dalam melihat fenomena
historis-sosiologis mengenai muncul dan berkembangnya gerakan radikalisme ini
ada beberapa catatan yang mungkin terjadi solusi alternatif. Salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk melindungi umat Islam
dari bahaya radikalisme adalah melakukan penguatan pendidikan dan ekonomi umat
melalui pendistribusian zakat, infaq, shadaqah serta wakaf. Hal ini karena faktor pemicu dari
gerakan radikalisme kebanyakan adalah
karena
ketidakadilan, kemiskinan, dan kebodohan
yang membuat masyarakat mudah dipengaruhi oleh gerakan radikal. Sebagaimana
dalam sejarah abad keemasan Islam, kemiskinan dapat diatasi, antara lain,
melalui pendayagunaan zakat, infaq,
shadaqah dan wakaf, sehingga keadilan sosial dapat terwujud dalam kehidupan
bernegara. Bisa dibuktikan, tidak ditemukan kasus-kasus kerusuhan dan
radikalisme massa pada saat itu. Dalam mengatasi permasalahan inipun harus
diselesaikan secara komprehensif dan tidak bisa dilakukan sepotong-sepotong
atau hanya satu elemen saja, tapi butuh koordinasi menyeluruh. Di samping itu
radikalisme adalah masalah yang kompleks dan terorganisasi, maka kerjasama
antara agama dan bangsa ini sangat dibutuhkan dalam memecahkan masalah ini.
Jaringan radikalisme memang harus diberantas sampai ke akarnya.
Cara lain untuk menangkal radikalisme agama
adalah dengan memberikan pelajaran agama yang mantap, terpadu serta memberikan
pembekalan dan pengetahuan yang mendalam mengenai bahaya radikalisme agama,
sehingga agama akan mendorong para siswa atau santri untuk terus berkarya,
radikalisme pun bisa ditangkal.
Daftar Pustaka
1.
Asy’arie, Musa (1992). Manusia Pembentuk Kebudayaan
Dalam Al-qur’ an.
2.
Azra, Azyumardi (1996). Pergolakan politik Islam, Dari
Fundamentalis,
Modernisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta : Paramadina.
3.
Gibb,H.A.R (1990). Aliran-Aliran Moderen Dalam Islam, Terjemahan
Machnun Husein. Jakarta : Rajawali
Press.
4.
Imarah,
Muhammad (1999). Fundamentalisme Dalam
Perspektif Barat dan
Islam. Jakarta :
Gema Insani Press.
5.
Madjid, Nurcholish
(1995). Islam Agama Peradaban, Mencari Makna Dan
Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta : Paramadina.
6.
Madjid, Nurcholish (1995). Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta : Paramadina.
7.
Montgmery, William (1998). Islamic Fundamentalism And Nodernity.
8.
Shaban, M.A (1994). Islamic History. Cambridge : Cambridge University
Press.
9.
Majalah Hidayatullah
edisi 10/XIV Februari 2002
Lampiran 1
Persentase
dan Diagram Hasil Penelitian
Pernyataan No. 1
Pengetahuan
|
Frekuensi
|
Persentase
|
Ya
|
6
|
31 %
|
Tidak
|
12
|
63 %
|
Ragu
|
1
|
6 %
|
Pernyataan No. 2
Pengetahuan
|
Frekuensi
|
Persentase
|
Ya
|
19
|
100 %
|
Tidak
|
0
|
0 %
|
Ragu
|
0
|
0 %
|
Pernyataan No. 3
Pengetahuan
|
Frekuensi
|
Persentase
|
Ya
|
16
|
82 %
|
Tidak
|
1
|
6 %
|
Ragu
|
2
|
12 %
|
Pernyataan No. 4
Pengetahuan
|
Frekuensi
|
Persentase
|
Ya
|
15
|
76 %
|
Tidak
|
2
|
12 %
|
Ragu
|
2
|
12 %
|
Pernyataan No. 5
Pengetahuan
|
Frekuensi
|
Persentase
|
Ya
|
0
|
0 %
|
Tidak
|
0
|
0 %
|
Ragu
|
19
|
100 %
|
DIAGRAM RESPONDEN
Lampiran 2
Daftar Siswa Kelas XII Agama MAN Kota Tegal
Sebagai Responden Angket Penelitian
No.
|
Nama
|
1.
|
Abdurrohman Rozqi
|
2.
|
A’isyah Ismiati
|
3.
|
Ade Yuli Purwanti
|
4.
|
Cut Nur Fadillah
|
5.
|
Ibnu Khibban Al-Ilyas
|
6.
|
Ika Nurul Fitri
|
7.
|
Intan Ribkah Annisa
|
8.
|
Izzul Afif Arwani
|
9.
|
Khoerotunnisa
|
10.
|
M. Irvan Zidni
|
11.
|
M. Ilyas
|
12.
|
M. Rifkie Setiawan
|
13.
|
Maghfiroh
|
14.
|
Mustika Dinni
Apriliani
|
15.
|
Ni’matul Azizah
|
16.
|
Rodatul Jannah
|
17.
|
Tri Handayani
|
18.
|
Wiwi Ristiyanti
|
19.
|
Zahirin Dwi Ardianto
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Gunakan bahasa yang baik dan sopan.